Business

|

in this topic.

Berkah dari Krisis 1998 – 2020: Jangan Takut Borong Saham Saat Pasar Lagi Guncang

Harish Malhi

Rabu, 09 April 2025 pukul 00.00

Ringkasan

Dibuat oleh AI

Pasar saham Indonesia memang sedang menghadapi tekanan yang cukup berat, baik dari sisi global maupun domestik. Tapi kalau kita belajar dari sejarah—seperti krisis 1998, 2008, dan 2015—penurunan tajam ini justru bisa jadi peluang emas buat para investor cerdas. Dow Theory menegaskan bahwa harga saham selalu bergerak dalam siklus. Jadi, ketika pasar turun drastis, itu bukan tanda bahaya, tapi sinyal awal dari fase akumulasi. Dengan strategi yang tepat dan mindset jangka panjang, masa krisis bisa jadi momen terbaik untuk borong saham dan menikmati hasilnya saat pasar pulih ke puncak baru..

Pergerakan pasar saham nggak akan selamanya menurun. Selalu ada waktunya buat bangkit dan bahkan mencetak rekor baru setelah mengalami koreksi tajam.

Kalau kita tarik ke belakang, sejak IHSG mencetak rekor tertingginya di 7.910,86 pada September 2024, indeks ini sudah turun sekitar 24% hingga penutupan perdagangan Rabu, 9 April 2025, yang berada di level 6.000.

Artinya, penurunan drastis ini sudah terjadi selama kurang lebih 29 minggu secara beruntun.

Kondisi ini mengingatkan kita pada krisis tahun 2015 yang disebabkan oleh melambatnya ekonomi China dan devaluasi mata uang yuan. Pada saat itu, IHSG anjlok 22,7% dalam periode 26 minggu.

Namun, kalau kita perhatikan proses pemulihannya, IHSG butuh waktu sekitar 123 minggu buat kembali naik dan mencetak puncak yang baru.

Dan kalau skenario tahun 2015 terulang lagi, bisa jadi pemulihannya kali ini akan memakan waktu lebih lama karena faktor penyebabnya jauh lebih kompleks dari sebelumnya.

Faktor Tekanan Pasar: Eksternal dan Internal

Penyebab utama gejolak pasar saat ini datang dari dua arah: luar negeri dan dalam negeri.

Dari sisi global, tekanan datang dari kebijakan tarif balasan Trump yang kabarnya akan resmi diumumkan hari ini dan akan mempengaruhi lebih dari 80 negara. Kebijakan ini memicu kekhawatiran soal inflasi dan memperlambat penurunan suku bunga.

Akibatnya, laju ekonomi global ikut terdampak dan diperkirakan akan melambat. Bahkan, peluang Amerika Serikat masuk ke jurang resesi kini sudah mencapai 60%. Berdasarkan data Polymarket, potensi resesi itu melonjak lebih dari 40% hanya dalam dua bulan terakhir.

Sementara dari sisi domestik, tekanan datang dari lemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), meskipun inflasi Maret sempat naik karena efek musiman bulan Ramadan.

Kini, pelaku pasar berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak ke pasar, serta mampu membangun diplomasi yang positif terkait kebijakan tarif AS yang dinilai menyulitkan eksportir Indonesia.

Gejolak Itu Sementara, Tapi Kenaikan Pasti Terjadi

Meskipun sentimen negatif ini masih menghantui, biasanya kondisi seperti ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. Sebagai investor, penting banget buat kita percaya bahwa tren penurunan ini nggak bakal bertahan selamanya. Akan datang saatnya pasar berbalik arah dan mulai naik lagi.

Teori Dow: Harga Selalu Bergerak dalam Siklus

Menurut Dow Theory, pergerakan harga saham itu selalu mengikuti siklus yang mencerminkan kondisi ekonomi dan psikologi investor.

Charles H. Dow membagi tren pasar menjadi tiga:

  • Tren utama (primary trend): berlangsung dalam jangka panjang, bisa bulanan hingga tahunan.

  • Tren sekunder (secondary trend): koreksi dari tren utama, bisa dalam hitungan minggu hingga bulan.

  • Tren minor (minor trend): bersifat sangat jangka pendek dan fluktuatif.

Teori ini juga menjelaskan bahwa pergerakan harga punya tiga fase:

  1. Fase akumulasi: di mana investor berpengalaman mulai masuk beli.

  2. Fase partisipasi publik: masyarakat umum ikut masuk, harga naik cepat.

  3. Fase distribusi: investor awal mulai lepas posisi karena harga dinilai sudah tinggi.

IHSG Selalu Pulih: Bukti dari Masa ke Masa

Kalau kita telusuri sejarah pergerakan IHSG, setiap kali ada krisis—entah itu tahun 1998, 2008, atau lainnya—pasar memang mengalami koreksi signifikan. Tapi semua itu hanya berlangsung sementara.

Dalam jangka panjang, IHSG selalu berhasil bangkit dan bahkan mencetak rekor tertinggi baru. Ini menunjukkan bahwa pasar punya kemampuan alami untuk pulih, dan kebijakan ekonomi pada akhirnya akan menyesuaikan untuk mendukung pemulihan tersebut.

Veirn.

Uncover the art and innovation of Gaming in our blog, where we explore Technology trends, Gaming Market structures, and the creative minds shaping the built environment.

Berkah dari Krisis 1998 – 2020: Jangan Takut Borong Saham Saat Pasar Lagi Guncang

Harish Malhi

Rabu, 09 April 2025 pukul 00.00

Business

|

in this topic.

Veirn.

Uncover the art and innovation of Gaming in our blog, where we explore Technology trends, Gaming Market structures, and the creative minds shaping the built environment.

Veirn.

Uncover the art and innovation of Gaming in our blog, where we explore Technology trends, Gaming Market structures, and the creative minds shaping the built environment.

Ringkasan

Dibuat oleh AI

Pasar saham Indonesia memang sedang menghadapi tekanan yang cukup berat, baik dari sisi global maupun domestik. Tapi kalau kita belajar dari sejarah—seperti krisis 1998, 2008, dan 2015—penurunan tajam ini justru bisa jadi peluang emas buat para investor cerdas. Dow Theory menegaskan bahwa harga saham selalu bergerak dalam siklus. Jadi, ketika pasar turun drastis, itu bukan tanda bahaya, tapi sinyal awal dari fase akumulasi. Dengan strategi yang tepat dan mindset jangka panjang, masa krisis bisa jadi momen terbaik untuk borong saham dan menikmati hasilnya saat pasar pulih ke puncak baru..

Pergerakan pasar saham nggak akan selamanya menurun. Selalu ada waktunya buat bangkit dan bahkan mencetak rekor baru setelah mengalami koreksi tajam.

Kalau kita tarik ke belakang, sejak IHSG mencetak rekor tertingginya di 7.910,86 pada September 2024, indeks ini sudah turun sekitar 24% hingga penutupan perdagangan Rabu, 9 April 2025, yang berada di level 6.000.

Artinya, penurunan drastis ini sudah terjadi selama kurang lebih 29 minggu secara beruntun.

Kondisi ini mengingatkan kita pada krisis tahun 2015 yang disebabkan oleh melambatnya ekonomi China dan devaluasi mata uang yuan. Pada saat itu, IHSG anjlok 22,7% dalam periode 26 minggu.

Namun, kalau kita perhatikan proses pemulihannya, IHSG butuh waktu sekitar 123 minggu buat kembali naik dan mencetak puncak yang baru.

Dan kalau skenario tahun 2015 terulang lagi, bisa jadi pemulihannya kali ini akan memakan waktu lebih lama karena faktor penyebabnya jauh lebih kompleks dari sebelumnya.

Faktor Tekanan Pasar: Eksternal dan Internal

Penyebab utama gejolak pasar saat ini datang dari dua arah: luar negeri dan dalam negeri.

Dari sisi global, tekanan datang dari kebijakan tarif balasan Trump yang kabarnya akan resmi diumumkan hari ini dan akan mempengaruhi lebih dari 80 negara. Kebijakan ini memicu kekhawatiran soal inflasi dan memperlambat penurunan suku bunga.

Akibatnya, laju ekonomi global ikut terdampak dan diperkirakan akan melambat. Bahkan, peluang Amerika Serikat masuk ke jurang resesi kini sudah mencapai 60%. Berdasarkan data Polymarket, potensi resesi itu melonjak lebih dari 40% hanya dalam dua bulan terakhir.

Sementara dari sisi domestik, tekanan datang dari lemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), meskipun inflasi Maret sempat naik karena efek musiman bulan Ramadan.

Kini, pelaku pasar berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak ke pasar, serta mampu membangun diplomasi yang positif terkait kebijakan tarif AS yang dinilai menyulitkan eksportir Indonesia.

Gejolak Itu Sementara, Tapi Kenaikan Pasti Terjadi

Meskipun sentimen negatif ini masih menghantui, biasanya kondisi seperti ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. Sebagai investor, penting banget buat kita percaya bahwa tren penurunan ini nggak bakal bertahan selamanya. Akan datang saatnya pasar berbalik arah dan mulai naik lagi.

Teori Dow: Harga Selalu Bergerak dalam Siklus

Menurut Dow Theory, pergerakan harga saham itu selalu mengikuti siklus yang mencerminkan kondisi ekonomi dan psikologi investor.

Charles H. Dow membagi tren pasar menjadi tiga:

  • Tren utama (primary trend): berlangsung dalam jangka panjang, bisa bulanan hingga tahunan.

  • Tren sekunder (secondary trend): koreksi dari tren utama, bisa dalam hitungan minggu hingga bulan.

  • Tren minor (minor trend): bersifat sangat jangka pendek dan fluktuatif.

Teori ini juga menjelaskan bahwa pergerakan harga punya tiga fase:

  1. Fase akumulasi: di mana investor berpengalaman mulai masuk beli.

  2. Fase partisipasi publik: masyarakat umum ikut masuk, harga naik cepat.

  3. Fase distribusi: investor awal mulai lepas posisi karena harga dinilai sudah tinggi.

IHSG Selalu Pulih: Bukti dari Masa ke Masa

Kalau kita telusuri sejarah pergerakan IHSG, setiap kali ada krisis—entah itu tahun 1998, 2008, atau lainnya—pasar memang mengalami koreksi signifikan. Tapi semua itu hanya berlangsung sementara.

Dalam jangka panjang, IHSG selalu berhasil bangkit dan bahkan mencetak rekor tertinggi baru. Ini menunjukkan bahwa pasar punya kemampuan alami untuk pulih, dan kebijakan ekonomi pada akhirnya akan menyesuaikan untuk mendukung pemulihan tersebut.